Selain memiliki persoalan soal tambang pasir yang membunuh warga dalam sekali timbun. Argasunya juga memiliki persoalan serius lain, yakni Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur. Selama puluhan tahun, karena pengelolaan yang buruk, TPA Kopi Luhur tak hanya sekedar pembuangan sampah akhir, tapi juga menjadi sumber pencemaran limbah yang berdampak pada warga di sekitar.
Selama bertahun-tahun, warga sekitar TPA harus menelan pil pahit. Air yang menjadi bagian penting hidup mereka harus terkena dampak dari limbah TPA Kopi Luhur. Air yang sebelumnya bisa mereka pakai untuk konsumsi, kini, berbau dengan kondisi air yang berubah warna seperti yang dialami oleh warga di RT 04, RW 04, Kalilunyu, Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Di sana, karena sudah tercemar cukup lama, kondisi air sumur sudah tidak lagi digunakan. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, mereka hanya mengandalkan air bor yang juga sudah mulai tercemar. Sedangkan untuk keperluan konsumsi seperti minum dan memasak mereka harus membeli air galon yang tentunya menambah pengeluaran keseharian mereka.
Air yang tercemar juga memberikan dampak kepada kesehatan warga. Salah satu warga Kalilunyu, Sri mengatakan bahwa karena sering menggunakan air bor yang tercemar, badannya mengalami gatal-gatal dan iritasi.
“Lihat saja kulit saya, jadi gatal-gatal setelah pakai air itu untuk mandi. Akhirnya sekarang untuk kebutuhan minum, saya terpaksa beli air galonan tiap bulan,” kata Sri sambil menunjukkan luka iritasi gatal-gatal di tangannya.
Ketua RT 04 Kalilunyu, Asep Hidayatullah memaparkan, kondisi pencemaran air yang diduga kuat berasal dari limbah TPA Kopi Luhur sudah berlangsung cukup lama. Kondisi air tersebut, akan semakin parah ketika musim hujan, di mana air sumur warga menjadi semakin keruh dan berbau.
“Bentuk nyatanya terjadi pencemaran terhadap air bersih kami sebagai warga di sekitar yang terdampak dari TPA Kopiluhur yang posisinya ada di atas. Sedangkan kami ini ada di RT 04 RW 04 Argasunya itu posisinya di bawah jaraknya kira-kira kurang dari 1 km. Bahkan ada lagi perkampungan yang jaraknya lebih dekat dengan TPA kemungkinan juga tercemar,” ujar Asep.
Meskipun merupakan persoalan kolektif, lanjut Asep, warga terpaksa menanganinya secara mandiri atau sendiri-sendiri. Padahal lokasi TPA yang berada di daratan tinggi dengan metode pembuangan sampah secara Open Dumping selama puluhan tahun jelas sangat membahayakan lingkungan karena menimbulkan pencemaran udara, tanah, air serta menjadi sarang penyakit dan berisiko longsor.
Persoalan TPA Kopi Luhur yang mencemari lingkungan warga juga mendapatkan sorotan tajam dari tokoh masyarakat sekaligus Pengusuh Pondok Pesantren Benda Kerep Cirebon Kiai Miftah Faqih. Sebagai seorang tokoh agama, Kiai Miftah tak hanya sekedar memberi memberi nasihat tapi juga berpihak pada warga yang terdampak dan melawan pencemaran lingkungan.
Menurutnya, sudah banyak warga datang kepada dirinya dan mengeluhkan kondisi air di rumah mereka yang tercemar. Meski sudah berlangsung cukup lama, namun, hingga sekarang Pemerintah Kota Cirebon masih belum menanganinya secara serius.
"Saya sangat prihatin dengan adanya TPA di Argasunya. Karena bisa mempengaruhi air-air bersih di sekitarnya kayak contohnya di Kalilunyu, Sumurwuni. Persoalan ini sudah lama dialami warga, dan kasihan sekali, dari dulu saya sudah mendengar,” tutur KH Miftah, Kamis (7/8/2025).
KH Miftah berharap agar pemerintah baik di tingkat daerah hingga pusat agar segera mengatasi persoalan TPA Kopi Luhur yang mencemari air warga selama bertahun-tahun.
Belum Serius
Pemerintah Kota Cirebon sadar betul bahwa TPA Kopi Luhur masih belum dikelola secara baik dan benar. Hal ini terbukti dengan adanya sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Salah satu alasan Kementrian Lingkungan Hidup memberikan sanksi adalah karena TPA Kopi Luhur masih menggunakan metode Open Dumping.
Meskipun sudah mendapatkan sanksi. Hingga sekarang, Pemerintah Kota Cirebon masih belum serius dalam menangani persoalan TPA Kopi Luhur dan masih mengandalkan solusi yang sifatnya praktis dan sementara.
Mendengar keluhan sumur warga yang tercemar, Pemkot hanya memberikan solusi dengan membuat sumur bor bagi warga yang terdampak. Padahal, dalam undang-undang dan kitab suci, sudah menjadi hak warga untuk mendapatkan air bersih yang layak.
Tentang air limbah atau air lindi yang berasal dari penyerapan tumpukan sampai TPA Kopi Luhur. Pemkot Cirebon, hanya memberikan solusi dengan menutup aliran sungai yang tercemar dengan tanah. Padahal, seperti sifat air yang mengalir. Air lindi tersebut masih bisa menyerap ke dalam tanah dan mengalir ke sumber mata air warga.
Pantauan di lokasi kolam air lindi TPA, terlihat air lindi yang masih merembes dan mengalir meskipun sudah dihalangi dengan tumpukan tanah. Bahkan, Kasubag TU UPT TPA Kopi Luhur DLH Kota Cirebon Jawahir mengakui bahwa air lindi tersebut diduga kuat menjadi penyebab tercemarnya sumber mata air warga. Apalagi, kondisi kolam lindi tersebut sebagai ada yang bocor sehingga memudahkan air untuk merembes ke luar.
Kondisi pencemaran akan semakin parah ketika musim hujan tiba. Di mana, air lindi meluap keluar karena kondisi kolam yang penuh dengan air hujan. Dan kondisi tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun. Jika Pemkot Cirebon masih memaksa untuk memberi solusi jangka pendek, bisa jadi pencemaran karena limbah sampah Kopi Luhur akan semakin meluas.
Kesimpulannya, persoalan TPA Kopi Luhur bukanlah persoalan sederhana. Dibutuhkan solusi yang konkrit dan jangka panjang. Jangan hanya sekedar untuk meredam isu, dan menganggapnya sebagai angin lalu. Karena jika tambang pasir bisa membunuh dalam sekali timbun, maka limbah TPA Kopi Luhur akan membunuh secara perlahan dengan membuat warganya menderita terlebih dahulu.
Fahmi Labibinajib
Warga Argasunya.