![]() |
Dok. Istimewa |
KANALPROGRES.com - Pendidikan di Indonesia, sebagaimana sering dirayakan tiap 2 Mei dalam balutan seremoni dan slogan patriotik, masih terperangkap dalam jebakan formalisme yang mereduksi makna sejatinya. Ia lebih sering dimaknai sebagai jalur administratif menuju pasar tenaga kerja, ketimbang sebagai proses pembebasan manusia dari struktur ketidaktahuan dan ketidakadilan. Sistem pendidikan kita belum sepenuhnya keluar dari paradigma kolonial: mendidik bukan untuk berpikir, melainkan untuk patuh.
Ketika Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan sebagai “pendidikan gaya bank”, sebuah sistem di mana guru “menyetor” pengetahuan dan siswa hanya menerima secara pasif. Ia tidak sedang berbicara hanya tentang Brasil. Ia sedang menyuarakan realitas pendidikan global yang sarat hegemoni. Dan ironisnya, pendidikan Indonesia sangat cocok dijadikan studi kasus dari kritik Freire tersebut. Ruang-ruang kelas kita, dari tingkat dasar hingga universitas, masih didominasi oleh relasi hierarkis antara guru sebagai otoritas tunggal dan murid sebagai subjek bisu.
Namun jauh sebelum Freire menyuarakan gagasan pendidikan yang membebaskan, Indonesia telah memiliki seorang pemikir yang merumuskan falsafah pendidikan yang progresif dan humanistik: Ki Hajar Dewantara. Melalui prinsip legendarisnya *Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani*. Ia menegaskan bahwa pendidikan bukan soal kekuasaan, melainkan soal keteladanan, inspirasi, dan pemberdayaan.
Dalam kalimat pertama, *“ing ngarso sung tulodo”*, sang pendidik yang berada di depan bukanlah komandan, melainkan teladan. Di sini, peran guru bukan untuk menundukkan pikiran anak, melainkan menginspirasi melalui laku dan integritas. Kalimat kedua, *“ing madyo mangun karso”*, menempatkan pendidik di tengah-tengah murid sebagai mitra yang membangun semangat bersama. Dan pada akhirnya, *“tut wuri handayani”* mengandung pesan mendalam tentang kepercayaan: bahwa pendidikan sejati adalah ketika pendidik berada di belakang, memberi dorongan dan kepercayaan kepada anak untuk tumbuh secara mandiri.
Amanat Ki Hajar Dewantara ini, sayangnya belum menjadi ruh dalam praktik pendidikan kita hari ini. Sistem pendidikan masih terlalu tersentralisasi, terlalu mencurigai kebebasan, dan terlalu percaya pada satu kebenaran yang tunggal. Anak-anak tidak diberi ruang untuk mencari makna, hanya diberi peta hafalan. Guru tidak didorong untuk menjadi pembelajar, tetapi hanya pelaksana kurikulum. Maka yang lahir bukan manusia merdeka, melainkan manusia terprogram.
Krisis pendidikan kita bukanlah soal infrastruktur semata. Ini adalah krisis makna, krisis orientasi, krisis kemanusiaan. Kita mendidik anak untuk sukses dalam kompetisi, tetapi tidak untuk bijak dalam kehidupan. Kita memburu nilai ujian, tetapi lupa menanamkan nilai kehidupan. Kita menjejali anak dengan “apa yang harus dipikirkan”, tetapi tidak pernah mengajarkan “bagaimana cara berpikir”.
Baik Paulo Freire maupun Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya menyerukan hal yang sama: pendidikan adalah alat pembebasan, bukan domestikasi. Pendidikan bukan transmisi pengetahuan, tetapi proses menumbuhkan kesadaran diri dan sosial. Kita perlu berani melepaskan ketergantungan pada mekanisme pendidikan yang kaku dan mulai membangun ekosistem pendidikan yang mendengarkan, yang berdialog, yang merawat jiwa manusia.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi saat untuk membongkar kemapanan. Kita perlu mempertanyakan: apakah pendidikan kita melahirkan manusia yang berpikir kritis, merdeka secara moral, dan peka terhadap keadilan? Atau justru melanggengkan kebisuan dan kepatuhan?
Selama pendidikan belum mengajarkan keberanian untuk bertanya, keberanian untuk berbeda, dan keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya, maka pendidikan itu belum membebaskan. Dan selama itu pula, cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara belum benar-benar dihayati.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.***
Penulis : Dandi Priadi